Hari Santri NASIONAL

Nama KH Hasyim Asy’ari, terpatri jelas dalam peringatan Hari Santri yang dirayakan pada 22 Oktober.

Mengapa nama ulama besar KH Hasyim Asy’ari, ada di dalam sejarah Hari Santri Nasional?

Dilansir dari NU Online, ada 3 pertimbangan saat Presiden Joko Widodo membuat Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri pada 15 Oktober 2015 silam. Keputusan presiden tersebut didasari tiga pertimbangan. Hal pertama, ulama dan santri pondok pesantren (ponpes) memiliki peran besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan dan mempertahankan kesatuan Republik Indonesia serta mengisi kemerdekaan. Kedua, keputusan tersebut diambil untuk mengenang, meneladani, dan melanjutkan peran ulama dan santri dalam membela dan mempertahankan negara Indonesia. Ketiga, tanggal 22 Oktober tersebut diperingati merujuk pada ditetapkannya seruan resolusi jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 yang dicetuskan oleh KH Hasyim Asy’ari. Revolusi ini, mengajak para santri dan ulama pesantren dari berbagai penjuru Indonesia mewajibkan setiap muslim untuk membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari serangan penjajah.

Jejaknya Dimulai sejak Tahun 1912 Sosok KH Hasyim Asy’ari Merujuk pada profil Pesantren Tebuireng yang diterbitkan oleh Pustaka Tebuireng (2011), KH Hasyim Asy’ari merupakan pendiri dan pengasuh Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Beliau dikenal sebagai tokoh ulama pemikir dan pejuang, serta pahlawan nasional yang menjadi salah satu tokoh besar Indonesia abad ke-20. KH Hasyim Asy’ari lahir pada Selasa Kliwon, 24 Zulkaidah 1287 Hijriah, bertepatan dengaan tanggal 14 Februari 1871 Masehi, di pesantren Gedang, Tambakrejo, Kabupaten Jombang. DIa merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara, putra dari pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Dari jalur ayah, nasab Kiai Hasyim bersambung kepada Maulana Ishak hingga Imam Ja’tar Shadiq bin Muhammad Al-Bagir. Sedangkan dari jalur ibu, nasabnya bersambung kepada pemimpin Kerajaan Majapahit, Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng), yang memiliki putra bernama Karebet atau Jaka Tingkir. Dalam sejarah tercatat Jaka Tingkir adalah raja Pajang pertama (tahun 1568 M) dengan gelar Sultan Pajang atau Pangeran Adiwijaya.

Awal mula Kiai Hasyim belajar di pesantren, yakni saat usia 15 tahun. Melansir dari buku “Profil Pesantren Tebuireng”, KH Hasyim Asy’ari sempat ke banyak pesantren hingga melanjutkan mencari ilmu ke Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan Kiai Kholil bin Abdul Latif. Kemudian pada tahun 1307 Hijriah atau tahun 1891 Masehi, Kiai Hasyim kembali ke tanah Jawa dan belajar di Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub.  Kemudian, pada usia 21 tahun, KH Hasyim Asy’ari menikah dengan Nafisah, salah seorang puteri Kiai Ya’qub. Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308 H. Tidak lama kemudian, KH Hasyim Asy’ari bersama istri dan mertuanya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Kesempatan di tanah suci juga digunakan untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu hadis. Namun, saat berada di Mekah, istri Hasyim Asy’ari meninggal dunia. Demikian pula dengan anaknya yang dilahirkan di Mekah. KH Hasyim Asy’ari kembali ke Mekah untuk kedua kalinya dan mulai rajin menemui ulama-ulama besar untuk belajar dan mengambil berkah dari mereka.

Di Mekah, KH Hasyim Asy’ari dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram dan memiliki banyak murid dari berbagai negara. Pada tahun ketujuh di Mekah, tepatnya tahun 1899 (1315 H), KH Hasyim Asy’ari menikah dengan Khadijah, putri Kiai Romli dari desa Karangkates, Kediri. Bersama istrinya, dia mendirikan pesantren pada 1899, bernama Pesantren Tebuireng. Awalnya, santri berjumlah delapan, lalu tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang. Dua tahun setelah mendirikan pesantren, Khadijah, istri KH Hasyim Asy’ari meninggal dunia, tanpa meninggalkan putra. Kemudian, KH Hasyim Asy’ari menikah dengan Nafiqoh, putri Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan, Madiun dan dikaruniai 10 anak. Pada akhir 1920-an, Nyai Nafiqoh wafat. KH Hasyim Asy’ari kemudian menikah dengan Nyai Masyruroh, dan dikaruniai empat anak.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *